Langsung ke konten utama

Balada Mastercard

Petugas yang baik hati dan sabar membantu, di counter Bahnof Olten

SBB armada kereta api Swiss


Alhamdulillah, yang selalu saya ucapkan untuk segala yang Alloh berikan. Dari kata tersebut, awalnya saya niatkan untuk memaksa diri saya selalu bersyukur atas takdir yang Alloh berikan. Lambat laun, menjadi sebuah paradigma dalam diri saya bahwa saya harus pandai bersyukur. Termasuk kejadian saat itu, 11 November 2018,  kurang lebih 16 hari sebelum keberangkatan ke Austria. 

Kilas balik, saya adalah orang yang beruntung, karena mendapatkan kesempatan untuk mengikuti ajang konferensi tingkat International di Austria. Kegiatan ini hanya dapat diikuti oleh mahasiswa dari negara Eropa, untuk tingkat umum dapat diikuti oleh siapapun dengan harga yang lumayan fantastis. Kenapa saya beruntung? Tepat sekali, saya orang Indonesia dan saya mendapatkan kesempatan berharga untuk mengikutinya, insyaAlloh...
Selain itu, kegiatan ini juga sudah ditanggung oleh pihak kampus dalam hal akomodasi penginapan dan biaya untuk berpartisipasi dalam ajang tersebut. Saya hanya tinggal membayar tranpsortasi dan makan selama acara. Tidak jadi masalah, saya happy karna saya berkesempatan untuk ke Austria, tidak hanya mengunjunginya, tapi juga menimba ilmu.

Saat itu, hari Ahad, saya terhenyak ketika sadar akhirnya 16 hari sebelum keberangkatan dan saya belum membeli tiket untuk transportasi ke Austria. My bad, saya terlalu sering mempertimbangkan ini itu hingga acapkali berakhir terlalu lama memutuskan. Panik, takut, dan terburu-buru. Akhirnya melihat kembali harga transportasi menuju austria melalui GoEuro (hasil rekomendasi teman pelajar Indo di Venice, Thank you Amelia :*). Tertegun melihat harga yang tidak jauh berbeda dari dulu, akhirnya memutuskan untuk membeli tiket kereta NighJet melalui SBB (persis seperti yang disarankan Dosen). Sebenarnya ada beberapa tiket yang lebih murah, tapi kedatangannya tidak sesuai dengan yang saya butuhkan. Datang di tempat acara 12 jam dari saat check in sama dengan bunuh diri, alias mati kutu. Sempat berfikiran untuk sekadar rehat di Masjid atau stasiun di Austria. Spekulasi yang jelas-jelas dibantah oleh teman Bule saya (sekaligus penasihat terbaik di Swiss, thank you Tante Bule).
Pukul 10.00 CET saya putuskan untuk menghentikan timbang-menimbang saya dan mulai memproses pembelian. Pembelian online sebenarnya sangat simple dan jelas petunjuknya, tapi terkadang saya masih ragu, jadi sembari whatsapp-an dengan teman Bule (Tante Bule yang satu ini sudah saya konfirmasi, kalau ybs bersedia dipanggil bule oleh saya dan baby saya). Jam 10.15 CET mulai melakukan pengisian kategori, seperti jenis tiket yang dibutuhkan (hanya kursi atau kompartemen dengan kamar mandi dan sarapan), untuk saya jelas, kursi.
Lima menit berlalu dengan aman, semua identitas sudah saya masukkan, lantas untuk memproses pembayaran saya Login melalui akun SwissPass milik saya. Ketika memilih metode pembayaran, saya memilih kartu Mastercard (saya selama ini menggunakan dua kartu dari Indonesia BCA dan Jenius/BTPN) dan memproses permintaannya. Memasukkan nomer kartu dan lain sebagainya dan ............balada dimulai....... saya tekan tombol oke. Loading sekitar 1 menit. Taraaaa. Akses gagal. Tidak ada penjelasan mengapa akses ditolak dan gagal. Akhirnya saya ulangi kembali, penuh ketelitian saya masukkan satu persatu nomor kartu saya. Oke.....
Loh kok? Gagal lagi, mulai panik dan berfikir kartu saya rusak atau bagaimana.
Akhirnya saya coba memakai kartu yang lain dan dengan jaringan Visa. Perlahan saya proses dan saya masukkan nomor kartu dsb. Pesan masuk ke sms untuk kode transaksi sudah saya terima, saya ketikkan di web, dan OKE.

Hellooooo! 

Akses ditolak karena waktu transaksi telah usang (kurang lebih begitu terjemahannya).
Disaat yang hampir bersamaan saya menerima notifikasi transaksi saya telah berhasil dikirim ke SBB Swiss. WHATT? Transaksi di website ditolak, tapi uang berkurang. Demi apaaaa? Uang 45 CHF yang setara Rp 660,000,- hilangkaaah?
Panik... Panik... Panik... Deg-degan... Mungkin nominal yang tidak begitu seberapa, untuk saya nominal itu tetap sangat berarti (maklum anak beasiswa ^^).
Segera berkirim pesan dengan teman Bule berharap dia bisa memberikan informasi apa yang harus saya lakukan. Semenit dua menit tidak kunjung dibalas, akhirnya nekat ke Bahnof (red: stasiun) yang berjarak kurang lebih 15 menit jalan kaki.
Perasaan khawatir, gelisah, bingung, dan baru sadar belum isi pulsa ketika tengok hape tidak ada pesan dari teman Bule. Karena memang tidak ada paket internet.
Berjalan secepat-cepatnya dan sampai di Bahnof 30 menit setelah kejadian.

Panjang antrian menambah kegalauan saya. Berharap Wi-Fi Bahnof bisa digunakan, tapi ternyata sedang macet. Alloh, ampuni hamba.

Giliran antrianpun tiba.

Saya berhadapan dengan lelaki paruh baya yang tampaknya berasal dari Swiss, dengan logat SwissGermany yang kental, menyapa ramah. Grüezi....
Saya jelaskan permasalahan, meski tersengal-sengal karena panik dan bingung, saya mencoba menjelaskan dengan perlahan dan sejelas-jelasnya. Beliau sangat sabar, menanyakan dengan detail, meminjam kartu SwissPass milik saya, dan bahkan bersedia melihat notifikasi M-Banking dan akses gagal dari website SBB.
Berusaha menelfon karyawan internal, menanyakan ini itu, setelah kurang lebih 20 menit, Bapak tersebut memberikan penjelasan, bahwa kemungkinan sedang terjadi masalah gangguan internet atau gangguan tekhnis lainnya. Selain itu, Bapaknya menjamin, apabila transaksi gagal, dipastikan uang kembali, tidak perlu khawatir (fyueeh sedikit lega). Dan lagi bagian finance belum menemukan transaksi masuk uang dari rekening saya. Oleh karenanya si Bapak tersebut menyarankan saya untuk kembali jam 18:00 untuk memberi notifikasi apakah uang saya sudah kembali.
Menimbang ini itu, akhirnya saya mengiyakan dan berterimakasih atas bantuannya.
Sekembalinya ke asrama saya cek kembali, uang saya belum kembali. Dan tante Bule mengirim pesan, sama persis dengan penjelasan si Bapak, bahwa uang akan kembali.

Menuju jam 17:00 CET, saya sudah bersiap-siap, karena sudah mulai gelap, jadi saya ingin berangkat lebih awal. Sudah tiga kali saya cek, uang saya belum kembali. Akhirnya tepat sebelum memakai sepatu, saya cek sekali lagi. Alhamdulillah yaRabb, uang saya kembali.
Bahagia, haru, campur malu (terlalu khawatir dan panik).

Tetap ke Bahnof, mengantri dan si Bapak menyapa kembali seraya bertanya, bagaimana sudah dicek akunnya? Ternyata si Bapak masih inget saya. Duh jadi makin malu, tapi tak apa lah.
Saya sampaikan, Alhamdulillah sudah kembali, terimakasih atas bantuannya. Dan saya ingin membeli tiket tersebut sekarang sambil cek kartu Mastercard.
Tidak ada lima menit proses selesai, tiket dicetak dan saya bayar dengan Mastercard tanpa kendala. huhuhu Alhamdulillah aman.

Ibroh,
segala sesuatu pasti ada hikmahnya, Alloh menakdirkan sesuatu karena yang terbaik itu untukmu.
Alhamdulillah dengan ini semakin memahami sistem kerja SBB. Semakin berhati-hati dalam bertransaksi dan selalu bersyukur atas pertolongan Alloh.

Terimakasih sudah membaca kisah kali ini, maafkan panjang nian.
Ditulis dengan sangat haru disela-sela deadline MSP dan RP.
Olten, Swiss.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Millennials Generation, Am I belongs to it?

Salah satu Jurnal acuan untuk riset saya di salah satu modul. catatan pekerja jaman now Saya berbicara hari ini dengan perspektif pekerja jaman now atau biasa kita sebut sebagai Generasi Millennial atau Gen Y. Saya tidak bermaksud untuk mewakili atau menjadi representasi bagi mereka ataupun kalangan tertentu, hanya menjawab pertanyaan atas gelisah dalam benak saya selama ini. Maka terimakasih telah menghargai remah-remah ini untuk kemudian membacanya dengan penuh hikmat. Ada pertanyaan menggelitik ketika saya membaca sebuah jurnal. Jurnal yang saya persiapkan sebagai bahan acuan untuk salah satu riset saya saat ini. Jurnal ini begitu menarik dan menghentak bagi saya. Jurnal sepanjang dua halaman ini saya lahap dalam sekali duduk meski berkali-kali membaca untuk memahaminya. Kilas balik. 5 tahun sudah saya menjadi pekerja di beberapa bidang pekerjaan di Indonesia. Pekerjaan lepas dan paruh waktu yang saya jalani selama masa perkuliahan Strata-1 membuat saya hidup dan...

Tekhnologi dan Peradaban Maju

Rumah Sakit Lira Medika Karawang, akhir Januari 2018. Mentafakuri nikmat yang Alloh berikan kepada kami di tahun 2017. catatan seorang Pembaca Amatir jilid II Tak perlu resah, apabila kita menghadapi masalah dan dapat menanganinya, minimal kita paham prosedural penanganannya, lantas kita menenangkan diri. Begitu yang saya tangkap dari cerita bersambung mengenai kisah "setengah bionic" milik Pak DI. Kenapa saya angkat topik ini dibandingkan topik yang lain yang beliau bahas? Saya tersadar ada banyak ironi dalam kisah ini. Saya ingin mengungkapkannya sebagai seorang pembaca amatir dan berharap kedepan ada solusi yang lebih baik. Beliau cukup berpengalaman, memiliki koneksi, dan kemampuan untuk menyelesaikan permasalah kesehatan yang beliau derita baru-baru ini. Saa t beliau menderita Aorta Dissection, beliau berada di Madinah sedang dalam ibadah Umroh, dan terpaksa kembali ke Indonesia bahkan terbang ke Singapura untuk penanganan lebih lanjut. Beliau, melal...

UNITED NATIONS (kantor PBB) in Geneva Swiss

one of my trips is made! Entah mengapa, saya selalu mencintai dunia kemanusiaan. Sempat berkecimpung dalam satu wadah NGO di Indonesia merupakan salah satu kebahagiaan tersendiri. Saya merasa saya mendedikasikan waktu dan tenaga saya secara tepat dalam platform tersebut. Meski pada akhirnya menggeluti bidang lainnya, adalah suatu awal untuk mimpi yang begitu muluk. Benar, sadar tidak sadar, kami para murid tahu 90'an selalu dicekoki dengan rangkaian histori sejarah panjang kemerdekaan, perjuangan, perlawanan, maupun tragedi kemanusiaan di seluruh dunia. Saya sangat ingat, banyak pertemuan yang diadakan di Indonesia untuk skala nasional, regional, maupun internasional. Awalnya diajarkan mengenai KAA di Bandung, kemudian diharuskan menghafalkan segala sejarah bergabungnya Indonesia pada salah satu wadah International, Persatuan Bangsa Bangsa. Dari Sekertaris Jendral, WHO, UNESCO, ILO, hingga Dewan Keamanan PBB. Rasanya, semuanya begitu jauh dari jangkauan, mimpi yang tingg...